SEMARANG ,mediatajam. Com – Gusdurian Universitas Wahid Hasyim Semarang menggelar haul KH Abdurrahman Wahid ke-9 dengan tema “Meneladani Perjuangan Gus Dur” di Aula Kampus Gedung C, Kamis (26/12) malam.
Kegiatan diisi dengan pembacaan tahlil, manaqib dan maulud. Kemudian dilanjutkan dengan diskusi membedah pemikiran Gus Dur dari berbagai perspektif.
Bahasan Gus Dur dan tantangan Unwahas dibedah oleh dua orang profesor. Pertama Prof. Dr. H. Noor Achmad, MA, mantan Rektor Unwahas, dan kedua Prof. H. Mahmutarom, SH, MA, rektor Unwahas sekarang.
Sang mantan rektor membuka dengan pemikiran Gus Dur yang universal meliputi berbagai macam aspek, dari politik dan kebangsaan hingga hukum dan HAM, mampu melampaui zamannya. Dikatakannya, gagasan Gus Dur masih tetap aktual hingga saat ini, dan perlu untuk terus dikaji oleh generasi berikutnya.
Di hadapan Gusdurian Unwahas yang baru saja berganti kepengurusan, keduanya memberikan tantangan agar Gusdurian Unwahas bisa menghidupkan pusat kajian pemikiran Gus Dur yang ada di lingkup dunia akademis.
“Dari pihak kampus siap memfasilitasi apa yang diperlukan untuk merealisasikan Pojok Gus Dur. Semua tentang Gus Dur ada di sini. Buku yang ditulis oleh Gus Dur, yang membahas tentang pemikiran beliau, dan buku-buku yang pernah beliau baca,” kata Muchtarom yang disambut tepuk tangan hadirin.
Dien Tajul Arifin, koordinator Gusdurian Unwahas yang baru saja dilantik menggantikan Lukmanul Hakim, menyatakan siap menerima tantangan. Dikatakan mahasiswa jurusan Ilmu Politik angkatan 2016 ini, kepengurusannya siap mengembangkan apa yang sudah dirintis oleh pengurus sebelumnya.
Gayung bersambut, dukungan juga disampaikan oleh Syaiful Huda, Seknas Gusdurian Semarang. Pihaknya menyatakan siap menyediakan materi yang diperlukan untuk mewujudkan perpustakaan Gus Dur yang digagas Gusdurian Unwahas.
*Gus Dur dengan Banyak Wajah*
Selain yang dikenal awam bahwa Gus Dur sebagai mantan presiden, politisi dan tokoh NU; beliau juga seorang pemikir, pelaku sufi, seniman, dan bahkan seorang wali.
H Taslim Syahlan, MSi mengatakan, ungkapan “Gitu aja kok repot” yang kerap diucapkan oleh Gus Dur merupakan sumber filsafat pemikiran almarhum. Terhadap perbedaan, Gus Dur tidak ambil pusing.
Menurut Sekretaris FKUB Jawa Tengah ini, warisan berharga dari Gus Dur adalah bagaimana generasi sesudahnya bisa merawat keberagaman.
Pembicara lainnya, Dr Nanang Nurkholis, MA, mengatakan, kendati perilaku Gus Dur kerap dianggap aneh, dalam setiap gagasan Gus Dur memiliki landasan fakta epistimologis dan fakta historis. Landasan itu kemudian didialogkan dengan kebudayaan.
“Karena itu, pemikiran Gus Dur sudah bergerak pada antroposentris dan tidak lagi berkutat pada teosentris. Dari dialog dengan kebudayaan setempat itu muncullah kearifan lokal,” terangnya.
Dari keluasan berpikirnya itu, maka tak aneh kalau cucu pendiri NU ini selain pernah menjabat sebagai Ketua PBNU juga pernah menjadi ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).
Menurut Shuniyya Ruhama, kelihaian Gus Dur untuk bisa masuk dan diterima di berbagai kalangan, sangat menopang pergerakan NU di masa Orde Baru. Dikatakannya, meski beberapa kali NU dikerdilkan oleh penguasa Orde Baru, Gus Dur dengan jurus “dewa mabuk”-nya selalu bisa lepas dari jeratan. Kemampuan demikian ini sulit dipahami oleh orang awam.
Aktivis senior Gusdurian Kendal ini memanggil Gus Dur dengan sebutan Simbah Wali. Namun demikian, lanjutnya, sebagai manusia beliau juga punya kekurangan. Meski dalam arti lain sebagai kelebihan, kekurangan beliau bahwa apa yang dilakukannya kerap membingungkan orang lain. Satu lagi, susah dikontrol kalau urusan makanan.
“Koyo ora nduwe pengeran wae, wedi karo panganan,” Shuniyya menirukan. Dan tentu saja dilanjut dengan, “Gitu saja kok repot!”.**syifak