REMBANG ,mediatajam.com – Kegiatan Sarasehan “Ngaji Generasi Milenial Anti Radikalisme yang digelar di aula SMA N 1 Lasem Rabu (29/5) sore berjalan santai dan khidmad.
Hal itu lantaran ratusan peserta yang didominasi para pelajar baik SMA N 1 Lasem, Aviecena, Muhammadiyah dan lainnya itu disuguhi dengan berbagai pertanyaan arti dan makna Ekstrimisme, Radikalisme, Militansi bahkan ada pula gas air mata dari narasumber.
Tak pelak, para peserta pun menjawabnya dengan santai. Namun jawaban itupun tak serta merta mengabaikan apa arti sarasehan iti sendiri yang dikemas dengan sederhana dan buka puasa bersama tersebut.
Dalam sambutan awalnya, Muhammad Nadhif Shidqi selaku narasumber bercerita tentang kondisi pada tanggal 22 Mei 2019 lalu di depan kantor Bawaslu Pusat.
Dari awalan sambutan itu, ia lalu menjabarkan materi tentang Ekstrimisme, Radikalisme dan Militansi.
“Di depan kantor bawaslu pada 22 Mei, merupakan sebentuk kerusuhan. Jadi di situ ada satu pihak yang puas terhadap hasil pemilu. Dan juga ada satu pihak tak puas. Sebenarnya ada mekasnisme tersendiri untuk menyalurkan ketidakpuasan tersebut,”cerita dia mengawali pembicaraan di kegiatan sarasehan.
Menurut dia, jika hal itu diibaratkan dengan tidak adanya peraturan yang dipatuhi. Sehingga kondisi kerusuhan pun tak bisa dihindari.
“Saat itu, mereka tak mau tunduk aturan. Mereka lakukan hal ini sebentuk radikalisasi. Sebab semua itu sudah ada jalurnya, ada prosedurnya, maunya kok sak kepenake dewe (sesuka dirinya, red),”ujar dia.
Oleh sebabnya dengan kondisi kerusuhan itulah, ia menilai jika pihak aparat keamanan harus menempuh langkah. Yakni memnubarkan massa dengan gas air mata.
“Pertanyaannya? Terbuat dari apakah gas air mata,”tanya dia kepada peserta.
Namun pertanyaan itu justru dijawab dengan santai. Mereka serentak menjawab “kenangan”. Dengan jawaban itu seisi ruanganpun tertawa. Bahkan suasana itu menambah rasa kekeluargaan, keakraban antar narasumber dan peserta lainnya.
“Kenangan……..,”jawab semua peserta lalu ditanggapi dengan tertawa bersama di suasana santai saat sarasehan itu.
Kemudian, pria yang akrab disapa Gus Nadhif itu melanjutkan materinya terkait dengan ektrimsme, radikalisme, dan militansi.
“Ekstrimisme, Radikalisem dan Militansi itu harus diartikan kata perkata. Ekstrim itu apa? yakni sesuatu yang diartikan dalam bentuk bahasa yang bermakna terlalu (berlebihan). Sebab sikap eksterim itu tidak baik,”uarinya.
Setelah itu ia menjabarkan arti dari radikal. Sehingga pihaknya pun mengimbau untuk selalu menjahui sikap tersebut. Mengingat sikap radikal itu ia artikan sebagai perubahan kondisi yang tidak melalui sebuah proses.
“Radikal itu di dalamnya mengandung makna perubahan merubah yang ujug ujug (secara tiba-tiba, red) sehingga jika dikaitkan dengan sifat, maka secara radikal sikapnya yang berubah. Di situlah muncul sikap radikalisme,”paparnya menjelaskan.
Selanjutnya ia menjelaskan apa arti Militansi. Dan apakah sikap itu patut diterapkan apa tidak oleh para pelajar. Mengingat kata tersebut dapat diartikan sebagai simbol kebersamaan dalam hal menjunjung tinggi nilai-nilai yang luhur.
“Militansi ? Ialah sebuah sikap yang dituntut oleh setiap oragnisasi, instansi untuk dimiliki oleh anggotanya unuk selalu menjunjung tinggi nama baik. Militansi ini bagus. Militansi ini bisa dimiliki oleh adik-adik tanpa mengedepankan sikap radikal. Sehingga nantinya bisa militan membela almamater ini,”jelasnya.
Di akhir pemaparannya, ia menambahkan bahwa satu-satunya untuk mempererat tali persaudaraan di NKRI ini hanya berdasarkan toleransi yang kuat. Sehingga ke depannya Indonesia bisa menjadi negara yang kuat.
Sementara itu, narasumber lainnya Pujianto selaku Skretaris GP Anshor Rembang mengulas adanya kondisi yang tegang baik di dunia maya maupun nyata saat usai pemilu pada 22 Mei 2019 lalu.
Ia menyebutkan bahwa di waktu itu ada keadaan yang menegangkan. Khsusunya di ibu kota Jakarta.
“Tanggal 21-22 Mei siapakah ada yang tahu?,”tanya dia kepada peserta.
Peserta menjawab jika waktu itu memang ada gejolak (kerusuhan) di Jakarta. Hanya saja pihak peserta mengaku tidak bisa mengakses media sosial yang menjadi sumber informasi selain media pemberitaan.
” Apakah kerusuhan saja? Dan satu lagi yakni pembatasan medsos. Di sana ada kerusuhan. Di dalamnya (kejadian, red) ada yang masih mengenakan seragam sekolah. Selain itu juga ada pembatasan jaringan medsos. Hal itu dilakukan supaya bisa meredam kabar, atau informasi yang tak benar yang menyebar di kalangan masyarakat,”kata dia.
Ia menilai, dilakukannya sarasehan ini dilakukan untuk membentengi para pelajar dari hal negatif. Khususnya terkait radilkalisme.
“Tujuan saresahan ini sangat baik. Sebab belakangan ini pelajar SMA, SMK bahkan mahasiswa menjadi jadi target lahan basah untuk direkrut menjadi gerakan radikal dan untuk mencapai tujuannya. Bsik itu dengan balutan agama maupun komunitas,”ujar dia.
Kemudian, ia juga menginformasikan dari lembaga survey jika saat ini ada sekitaran 50 persen pelajar tingkat SLTA yang ada di Indonesia siap untuk diberangkatkan ke Timur Tengah.
“Menurut Wahid Institute, ada sekitaran 50 persen pelajar Indonesia siap diberangkatkan ke Suriah dan sekitarnya. Oelh sebabnya kegiatan ini sangat bermanfaat bagi pelajar dan siswa dari faham radikalisme itu sendiri,”ucapnya.
Di sisi lain, Imron Wijaya Guru dari SMA N 1 Lasem menginbau kepada siswa-siswinya untuk berhati hati dalam menyikapi pemberiataan yang ada di media sosial
“Medsos memang saat itu (21,22 Mei) sengaja dimatikan sebab nanti bisa menyebarkan hoax dan lainnya. Sekarang bisa mudah masuk penjara melalui ketikan jari di medsos. Kalau dulu dengan ucapan, tapi kali ini bisa dengan jari bisa mengantarkan ke penjara jika medsos tak dimanfaatkan dengan positif dan baik,”pungkasnya.**SAN