Techno Software

Hati-hati Ransomware Menculik Datamu dan Meminta Tebusan

Jakata,medatajam.com  – Isu keamanan cyber di kawasan Asia-Pasifik semakin menjadi sorotan. Hal itu tak terlepas dari semakin meningkatnya serangan dalam lima tahun terakhir. Kaspersky Lab, perusahaan penyedia layanan antivirus asal Rusia, menyatakan perhatian khusus saat ini banyak ditujukan kepada serangan cyber.

Salah satu program jahat yang terus bergentayangan dan siap menginfeksi setiap komputer adalah ransomware. Cara kerjanya adalah melumpuhkan fungsi komputer, seperti mengunci papan ketik dan tetikus sehingga tak bisa digunakan. Selain itu, ransomware mencari keuntungan finansial di seluruh dunia maupun kawasan Asia-Pasifik.

“Jumlah serangan ransomware yang terdeteksi di kawasan Asia-Pasifik selama Juli hingga Agustus mengalami peningkatan sampai 114 persen,” ucap Vitaly Kamluk, Kaspersky Lab’s Director of Global Research and Analysis Team in APAC di Bali, Jumat pekan lalu. Selama 2016, risiko serangan juga banyak menyasar perangkat genggam.

Dalam data yang disajikan Kaspersky, peretasan pada genggam bergerak menyerang dalam bentuk infeksi aplikasi di pasar aplikasi, peretasan mobile web browser, jailbreak dari jarak jauh, pencurian data, serangan Trojan pada mobile banking, dan mobile ransomware. Di Asia-Pasifik, ransomware paling banyak menyerang Australia (10–12 persen) dan Malaysia (6–10 persen).

Peningkatan serangan ransomware selama 2016 tercatat merupakan yang tertinggi di kuartal ketiga. Dalam periode itu terjadi serangan hingga 45 ribu kali dan puncaknya terjadi pada Agustus. Adapun pada kuartal kedua serangan tertinggi terjadi sebanyak 21 ribu kali.

Vitaly menyatakan peningkatan serangan juga terjadi di seluruh dunia. Fakta ini menjelaskan bahwa saat ini kawasan Asia-Pasifik menjadi sasaran peretasan ransomware. Peretasan terus terjadi dan semakin meningkat karena data hasil curian bisa diperdagangkan dan menjadi uang. Adanya pasar gelap untuk menjual data tersebut semakin memperluas kejahatan serangan cyber pada perusahaan.

Menurut Vitaly, pada April 2016 serangan peretasan dengan ransomware dan Trojan yang diketahui bernama Locky tersebar secara cepat ke seluruh dunia. Kaspersky Security Network mendapati serangan ransomware Locky terjadi di 114 negara.

Para penjahat cyber secara rutin mengubah cara dalam peretasan, termasuk pada skema kriptografi, teknik mengaburkan kode, eksekusi format file, dan vektor infeksi. Serangan malware tipe ini biasanya didistribusikan melalui spam atau dikirimkan lewat sistem administrasi jarak jauh.

Dalam kasus serangan ransomware, para peretas meminta bayaran atas penyanderaan data dengan pembayaran mata uang Bitcoin. Cara ini dianggap paling aman karena tidak ada identitas atau keterangan detail apa pun mengenai rekening sang penerima atau pelaku. Anonimitas mata uang Bitcoin menjadi nilai yang menguntungkan para pelaku kejahatan cyber.

Berdasarkan informasi Kaspersky Lab Cybersecurity Event di Bali, permintaan deskripsi data untuk pengguna perorangan bertarif US$ 15 atau sekitar Rp 200 ribuan. Adapun tarif untuk membuka data bagi korban perusahaan bernilai lima kali lipat daripada tarif individual.

Kebiasaan perusahaan yang memilih untuk membayarkan tebusan ketimbang merelakan kehilangan data membuat jumlah korban dari kalangan perusahaan semakin meningkat. Sebab, bagi para peretas, inilah kesempatan menghasilkan uang lebih banyak.

Kaspersky menyatakan dalam 12 bulan terakhir serangan cyber terbesar terjadi pada perusahaan atau organisasi. Bentuknya malware dan spam, disusul dengan phising.

Data Kaspersky Security Network Juli hingga September 2016 menyatakan bahwa 49 persen negara Asia-Pasifik terserang peretasan melalui network lokal dan kontak dengan media seperti USB. Adapun 17 persen lainnya mengalami serangan melalui akses Internet.

Serangan network lokal paling tinggi terjadi di Vietnam sebesar 64 persen, Filipina (58 persen), dan India (55 persen). Adapun untuk serangan secara online Cina menjadi negara paling tinggi diretas dengan persentase 24 persen, Vietnam 23 persen, India 18,5 persen, dan Indonesia 18,5 persen.**As