Tajam News

Jabatan Kades, Gengsi Atau Amanat Rakyat

Agus Sutomo

Rubrik Opini :

Rembang,mediatajam.com – Kabupaten Rembang sebentar lagi akan menyelenggarakan pemilihan kepada desa (Pilkades) secara serentak. Dan untuk gelombang pertama,menurut catatan penulis sebanyak 237 desa akan menyelenggakan pesta demokrasi di tingkat desa. Dan jangan dikira jika politik ditingkat desa bisa diabaikan begitu saja.

Sebutsaja saat pendaftaran pertama,setelah dilakukan penelitian secara seksama oleh pihak panitia Pilkades ternyata di Kabupaten Rembang telah muncul “Calon Boneka”. Setelah dilakukan pendekatan panitia puluhan “calon boneka” itu mundur teratur.

Pertanyaannya,bagaimana mungkin di tingkat desa sebagai sumber demokrasi bisa muncul “calon boneka”. Disini penulis mencoba membedah soal calon boneka. Calon boneka adalah calon yang disiapkan oleh kelompok tokoh tertentu atau bisa jadi calon kuat didesa tersebut,agar posisinya semakin kokoh untuk bisa merebut kursi kepala desa.

Jadi “calon Boneka” sengaja dipasang untuk merecoki lawan/memecah suara,sehingga perolehan suara dalam pencoblosan bisa maksimal. Soal kemunculan calon boneka itu sendiri sempat membuat Bupati Rembang H Abdul Hafid berang. Bupati meminta tokoh-tokoh di desa yang akan menyelanggarakan pilkades untuk tidak main-main dengan memunculkan calon boneka.

Ada banyak persoalan di desa yang kadang tersumbat,sehingga dalam menentukan figur calon pimpinan muncul banyak spekulasi. Di Desa A misalnya sang Kades dinilai tidak amanah,arogan sehingga ada beberapa orang kaya di desa tersebut merasa tidak suka.

Dengan memunculkan calon boneka diharapkan suara terpecah dan sang incumbent (calon petahana/mantan kades yang nyalon lagi) bisa tumbang oleh calon kades baru/pemimpin baru.

Satu hal lagi yang patut diwaspadai adalah kemunculan para “bebotoh” yang memiliki banyak uang yang pelan-pelan masuk ke desa tersebut yang tentu saja keberadaannya sudah ada petunjuk dari tokoh di desa yang bersangkutan.

Bebotoh atau Botoh adalah petaruh. Dia menjagokan salah satu calon dengan taruhan uang yang bisa menembus angka puluhan juta bahkan ratusan juta. Karena berharap bisa meraup keuntungan yang berlipat maka bebotoh ini juga rela mengeluarkan uang untuk ikut “membeli suara” di desa pemilihan yang dijadikan target.

Pertarungan bebotoh jelas tidak mencerminkan proses demokrasi di tingkat desa yang tentu saja menginginkan munculnya kepala desa yang dapat dijadikan panutan untuk membangun desanya.

Fenomena lain yang cukup menarik,seberapa kuat calon kepala desa dalam “membeli suara rakyat” di pesta demokrasi tingkat desa. Nanti calon si Fulan akan memberi uang saku berapa ya,kalau Pak Bei kuat kok membeli suara Rp 100 ribu per suara.

Jika fenomena “money politik” benar-benar diterapkan dalam pemilihan kepala desa,sungguh tidak bisa dibayangkan kalau calon yang jadi maupun calon yang tidak jadi akan menangguk banyak hutang. Terkeculi,kalao sang calon memang orang kaya di desa tersebut tentu bukan masalah yang urgen,tetapi kalau “modal nyalon” dari hutang sana sini tentulah andaikata menjadi Kepala Desa harus bisa mengembalikan modal sebelum masa paripurna (selesai tugas).

Apakah jabatan “petinggi” sedemikian mahal. Menjadi Kades memang banyak diminati,tetapi jabatan adalah amanah. Kalau harus merogok uang cukup banyak untuk membeli suara rakyat melalui “uang saweran” saat pesta demokrasi,bukannnya sama dengan membeli kursi petinggi sehingga bisa diasumsikan betapa “mahalnya kursi Petinggi”.

Kalau jabatan petinggi-jabatan Dewan Perwakilan Rakyat juga harus ditebus dengan uang ratusan juta,terus mau jadi apa negeri tercinta ini. Calon Kades atau Calon DPRD yang pinter dan bijak saja tanpa memiliki harta yang cukup maka nasibnya akan terlempar.

Bahkan tidak punya nyali untuk mencalonkan diri di kedua jabatan tersebut. Oh negeriku,mengapa engkau harus terpasung dalam budaya saweran. Sampai kapankah kondisi seperti ini akan berakhir. (agus sutomo).

*Penulis adalah wartawan senior di Kabupaten Rembang- Dewan Penasehat PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) Kabupaten Rembang.