BLORA – Pembangunan nasional yang dilaksanakan sejak era reformasi tahun 1998 sampai saat ini dirasakan belum memiliki arah dan jangkauan ke depan yang jelas dan terukur. Pembangunan yang berjalan seolah tidak terbingkai dalam satu tujuan yang sama sehingga dalam jangka panjang program-program pebangunan yang dilaksanakan dapat mencapai kemajuan bangsa. Kondisi tersebut mengundang munculnya gagasan untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai solusi bagi pelaksanaan pembangunan berkesinambungan untuk jangka waktu dua puluh lima tahun (jangka panjang).
Perlunya mengkaji penerapan kembali GBHN menjadi bahasan dalam sosialisasi empat pilar MPR-RI yang diselenggarakan di Madrasah Diniyyah Tarbiyyatus Shibyan Desa Sendangwaru Kec Banjarejo Kab Blora
yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, guru dan kalangan santri, Sabtu (19 November 2016) malam .
Menurut Ketua Fraksi PPP MPR-RI, Moch Awani Thomafi, gagasan menerapkan kebali GBHN memang terus dikaji dan menjadi pembahasan di
MPR-RI. Meski masih terjadi perbedaan pandangan, dapat dipahami jika muncul pemikiran untuk menilai keterpaduan sistem pembangunan negara
anatar jangka pendek (lima tahun) dengan pembangunan jangka pandang
(dua puluh lima tahun).
Salah satu penyebabnya ditengarai adalah model pergantian pemimpin,
terjadi pula pergantian visi-misi dan program pembangunan.
Secara empiris, Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan juga menghendaki haluan yang jelas tentang pembangunan Indonesia. Presiden
mengatakan, Indonesia harus memiliki haluan yang jelas tentang ke mana arah Indonesia. Pembangunan Nasional Semesta Berencana menjadi pekerjaan rumah yang harus dirumuskan sejak sekarang untuk memperjelas pembangunan ke depan, yang menjadi pegangan bagi setiap
pemimpin/presiden yang terpilih.
Demikian pula di banyak kesempatan MPR-RI melakukan sosialisasi hasil perubahan UUD 1945, muncul pertanyaan sekitar tak adanya GBHN. Tidak hanya pertanyaan, muncul pula pandangan yang menghendaki GBHN dihidupkan kembali. Namun demikian gagasan menghidupkan kembali GBHN
masih membutuhkan waktu dan langkah perubahan kembali konstitusi. Pasalnya, menurut Arwani, saat ini tidak ada lagi dasar hukum dan lembaga yang berhak menetapkan GHN. Hal ini berbeda dengan era
sebelumnya dimana kewenangan menetapkan GBHN menjadi tugas dan fungsi
MPR-RI.
Pada akhirnya, apabila nantinya ingin memberlakukan GBHN harus melalui amandemen kelima untuk menegaskan ruang lingkup GBHN dan lembaga mana yang ebuat. Dalam hal diserahkan kepada MPR, dapat berkonsekuensi menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam posisi
seperti ini, GBHN yang dibuat MPR tentu saja akan menghadirkan pola
sistem pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Sekiranya ini, sebagaimana pengalaman sebelumnya, tidak mungkin menghindarkan
pertanggungjawaban politik presiden kepada MPR. “Semua itu harus dikaji secara menyeluruh agar gagAsan menerapkan GBHN yang secara substansi baik, tidak keluar dari tujuan awalnya, yaitu mengintegrasikan dan menjaga kesinambungan pembangunan,” tegasnya (Hasan M Yahya)