Kendal,mediatajam.com – Mahkamah Konstitusi (MK) Republik Indonesia kembali menjadi pusat perhatian setelah mengeluarkan putusan dalam perkara No. 60/PUU-XII/2024. Putusan ini berkaitan dengan uji materi yang diajukan oleh Partai Gelora dan Partai Buruh, yang menantang Pasal 40 ayat (3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam posita mereka, kedua partai tersebut meminta MK untuk menyatakan bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, karena hanya memberikan hak kepada partai politik yang memiliki dan memperoleh kursi di DPRD untuk mengajukan pasangan calon kepala daerah.
Dalam pertimbangannya, MK sependapat bahwa Pasal 40 ayat (3) memang bertentangan dengan UUD 1945. Namun, putusan MK kali ini menuai kontroversi karena selain membatalkan pasal tersebut, MK juga menciptakan norma baru terkait syarat pencalonan kepala daerah—sesuatu yang sebenarnya tidak dimohonkan dalam uji materi tersebut.
Seharusnya, MK hanya memutus bahwa pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan menyerahkan pembentukan norma baru kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai bagian dari open legal policy. Hal ini ditegaskan dalam dissenting opinion dari Yang Mulia Daniel Yusmic P. Foekh, yang menyatakan bahwa MK seharusnya memposisikan diri sebagai negative legislator dan tidak masuk ke dalam ranah pembentukan hukum.
Dalam pendapatnya, Daniel Yusmic P. Foekh berpendapat bahwa MK seharusnya hanya memberikan putusan bersyarat bagi gabungan partai politik peserta Pemilu 2024 yang memperoleh dukungan rakyat namun tidak mendapat kursi di DPRD. Mereka seharusnya diperbolehkan mengusulkan pasangan calon kepala daerah dengan parameter perolehan minimal 25% dari akumulasi suara sah. Oleh karena itu, perubahan lebih lanjut terkait norma pencalonan kepala daerah sebaiknya dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
Mengenai putusan ini, Ananta Surya S, M.H., seorang pakar hukum, turut memberikan komentarnya. Ia menyatakan bahwa “MK seharusnya cukup menyatakan Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 tersebut inkonstitusional. Biarkan DPR yang melakukan perubahan lebih lanjut, sesuai dengan kewenangan mereka dalam merumuskan kebijakan hukum.”
Putusan ini menjadi sorotan penting dalam dinamika politik hukum di Indonesia, terutama menjelang Pemilihan Kepala Daerah 2024. Apakah ini merupakan langkah progresif dalam memperbaiki sistem pemilu, ataukah sebuah preseden yang menimbulkan ketidakpastian hukum, waktu yang akan menjawab. Yang pasti, putusan ini membuka ruang diskusi yang lebih luas mengenai peran dan batasan Mahkamah Konstitusi dalam sistem hukum kita.**AS/BI