Peristiwa

Tantangan Kejaksaan Di Era Digitalisasi

Semarang, mediatajam.com  –  Di era tahun 90 an saat penulis masih menjadi mahasiswa Fakultas hukum maupun saat membuat tugas akhir karya tulis ilmiah (skripsi), di era Pemerintahan Orde Baru  dalam  karya ilmiahnya akan selalu merujuk pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), sebagai referensi yang berkaitan dengan tujuan pembangunan termasuk karya tulis bidang Hukum.

Perjalanan pemerintahan sejak Orde Lama, Orde Baru sampai Orde Reformasi  di era digitalisasi tidaklah surut tuntutan profesionalisme penegak hukum,  profesi Jaksa haruslah memiliki keahlian yang berkeilmuan dalam bidangnya oleh karena itu setiap profesional harus secara mandiri mampu memenuhi kebutuhan warga masyarakat yang memerlukan pelayanan dalam bidang hukum, untuk itu tentunya membutuhkan keahlian yang berkeilmuan. Pengembangan profesi seseorang, tergantung sepenuhnya kepada pribadi yang bersangkutan, sebab secara individual ia mempunyai tanggung jawab penuh atas pelayanan profesinya.

Sebagai referensi pengembangan ilmu hukum penulis mengambil rujukan pada Ketetapan MPR No.II/MPR/1993 karena hal ini  masih ada relevansinya dengan profesi penegakan hukum di Indonesia.

Dalam Tap MPR tersebut dikemukakan bahwa sasaran bidang pembangunan bidang hukum adalah” Terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional yang mantap, bersumberkan Pancasila dan UUD 1945, dengan memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang berlaku, yang mampu menjamin kepastian hukum, ketertiban, penegakan, dan perlindungan hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran, serta mampu mengamankan dan mendukung pembangunan nasional, yang didukung oleh aparatur hukum, sarana dan prasarana yang memadai serta masyarakat yang sadar dan taat hukum”.

Secara etika profesi sasaran pembangunan hukum akan tercapai dengan membutuhkan tenaga-tenaga aparatur hukum yang profesional dan beretika.

Seorang pengemban profesi haruslah orang yang dapat dipercaya secara penuh, dan ia tidak akan menyalahgunakan sistuasi dan kondisi yang ada, pengembangan profesinya  haruslah dilakukan secara bermatabat tidak terbatas ruang dan waktu.

Pengembangan profesinya haruslah dilaksanakan secara bermatabat, karena tugas dan profesi tersebut merupakan tugas kemasyarakatan  yang langsung berhubungan dengan nilai-nilai  dasar yang merupakan perwujutan martabat dan harkat manusia, dan masyarakat.

Kalau kita perhatikan di sekitar kita, akan terlihat banyak terjadi tingkah laku antar sesama manusia yang kurang pada tempatnya, sering terjadi benturan-benturan disana sini, bahkan terkadang terjadi pengankangan terhadap hak-hak dasar oleh individu yang satu terhadap individu yang lain. Kondisi ini juga merambah ke dalam dunia profesi hukum, sering terbentik bahwa dunia profesi hukum kita telah terpolusi oleh tingkah laku para profesionalnya.

Tantangan profesi Jaksa di era digital  tidak akan dapat terlaksana dengan baik  tanpa sertai dengan kesadaran oleh etika profesi yang baik, yang berintegritas, profesional dengan menjung tinggi nilai-nilai moral agama. Kesadaran etika profesi hukum diharapkan para profesional hurus mempunyai kemampuan individu yang kritis antara lain:

  1. Kemampuan untuk kesadaran etis (ethical sensibility).
  2. Kemampuan untuk berpikir secara etis ( ethical reasoning).
  3. Kemampuan untuk bertindak secar etis ( ethical conduct).
  4. Kemampuan untuk kepemimpinan etis ( ethicalleadeship).

Kemampuan diatas adalah merupakan landasan dasar watak, kepribadian dan tingkah laku para profesional hukum. Ethical sensibility (kesdaran ethis) dapat dilihat

Dari kemampuan para profesional hukum untuk menentukan aspek-aspek dari situasi-situasi dan kondisi yang mempunyai kepentingan etis.

Ethical reasoning (kemampuan berpikir secara etis dan rasional) menyangkut hal-hal yang berkaitan erat dengan alat-alat dan kerangka-kerangka  yang dianggap merupakan keseluruhan pendidikan etika profesi hukum.

Ethica counduct (kemampuan untuk bertindak secara etis) dimaksudkan, merupakan manefestasi dari hati yang tulus, hal ini akan diperlihatkan dengan tingkah laku diperankan serta dalam pengambilan keputusan secara etis danbenar.

Ethical Landership (kemampuan memimpin secara etis) adalah merupakan kemampuan untuk berperan dalam kepemimpinan secara etis, yang tentunya mempunyai keterkaitan dengan tingkat ketulusan hati.

Pada dasarnya setiap profesi mendudukan profesional dalam suatu keadaan yang lebih tinggi, sebab kepadanya diserahkan kekuasaan yang luar biasa (seperti Jaksa, hakim).

Undang-Undang Nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 1 menjelaskan: Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap serta wewenang lain berdasarkan undang-undang.

Tugas Negara yang diberikan oleh Korp Adhyaksa saat ini telah memperingati hari jadinya yang ke 60 Tahun, sehingga di usia yang ke 60 tahun ini,  ibarat  manusia sudah masuk usia yang matang, matang dalam pengertian telah sarat dengan pengalaman dan dinamika dalam menghadapi tantangan perobahan zaman yang  sebagai salah satu pilar penegakan hukum di Indonesia.

Tantangan terbesar dari korp Adhyaksa saat ini di Era Digitalisasi  adalah yang berkaitan dengan Pengembangan profesionalisme & Etika Profesi Jaksa dalam  penegakan hukum yang berkeadilan. Tantangan tersebut bukan berarti para Jaksa yang ada belum profesional pada profesinya, akan tetapi tuntutan  pengembangan sumberdaya akan terus menyesuaikan kebutuhan dan tuntutan profesionalisme karena apabila etika profesi diabaikan dari segi tanggung jawab yang dipercayakan terhadap diri dan profesinya, hanya akan melahirkan profesional yang tidak beretika.

Cepat atau lambat akan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum di Indonesia. Kemajuan tehnologi digital tidak akan mempengaruhi rasa keadilan di masyarakat,  karena roh yang terkandung dalam tatanan norma susila  dan hukum di masyarakat terus berkembang dan tidak terbatas oleh ruang dan waktu.

Hubungan etika  dengan profesi hukum karena etika profesi adalah sebagai sikap hidup, yang mana berupa kesediaan untuk memberikan pelayanan profesional di bidang hukum terhadap masyarakat dengan keterlibatan penuh dan keahlian dalam rangka melaksanakan tugas yang berupa kwajiban terhadap masyarakan yang membutuhkan pelayan hukum dengan disertai refleksi yang seksama, karena dalam melaksanakan profesi terdapat kaidah-kaidah pokok berupa etika profesi.

Dalam kaidah – kaidah agama khususnya dalam agama Islam dikenal dengan hubungan  Habl min-annas (hubungan horizontal) yang merupakan pelaksanaan tugas profesi hukum yang bersifat kepercayaan juga harus didasarkan kepada Habl min Allah (hubungan vertikal), yang mana Habl min Allah itu terwujud dengan cinta kasih, perwujudan  cinta kasih kepada Allah tentu kita harus melaksanakan sepenuhnya atau mengabdi kepada perintah-NYA yang antara lain cinta kasih kepada Allah SWT itu direalisasikan dengan cinta kasih antar sesama manusia, dengan menghayati cinta kasih sebagai dasar pelaksanaan profesi, maka dengan sendirinya (otomatis) akan melahirkan motivasi untuk mewujudkan etika profesi hukum sebagai realisasi sikap hidup dalam mengemban tugas yang pada hakekatnya merupakan amanah profesi hukum.

Dengan mengemban profesi hukum memperoleh  landasan keagamaan, maka akan melihat profesinya sebagai tugas kemasyarkatan sekaligus sebagai sarana mewudkan kecintaan kepada allah SWT dengan tindakan nyata. Profesionalisme biasa biasanya dipahami  sebagai suatu kualitas, yang wajib dipunyai setiap eksekutif yang baik.

Didalamnya terkandung beberapa ciri, Pertama punya ketrampilan tinggi dalam suatu bidang, serta kemahiran dalam mempergunakan peralatan tertentu yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas. Kedua, punya ilmu dan pengalaman serta kecerdasan dalam menganalisa suatu maslah , dan peka dalam membaca situasi, cepat dan tepat serta cermat dalam mengambil keputusan terbaik atas dasar kepekaan.

Ketiga punya sikap berorntasi ke depan, sehingga punya kemampuan mengantisipasi perkembangan lingungan yang terbentang dihadapanya. Keempat, punya sikap mandiri berdasarkan keyakinan akan kemampuan pribadi (‘izat al-nafs atau self –confidence), serta terbuka menyimak dan menghargai pendapat orang lain, namun cermat dalam memilih yang terbaik bagi diri dan perkembangan pribadinya.

Dalam Al-Qur’an manusia dengan kareteristik, dan kualitas seperti itu dinyatakan sebagai berikut : Gembirakanlah para hamba-hamba-Ku, yang suka menyimak pendapat orang dan (pandai) mengikuti yang terbaik dari padanya, merekalah yang mendapat hidayah Allah dan merekalah ulil al-bab (Q,S. 39:17:18).

Manusia berkulitas seperti itulah yang dimaksud Al-Qur’an dengan Ulil al-bab, bukanlah manusia yang cepat puas. Mereka yakin akan tugas dasar manusia , sebagai mahluk yang akan memakmurkan kehidupan manusia; “…Dialah (Allah) yang telah menciptakan kamu memakmurkanya…” (Q.S. 11: 61).

“Selamat hari jadi Adhyaksa yang ke 60 tahun 2020”.

Sikap dan sikap yang tumbuh dari keyakinan yang demikian, akan membuat manusia menjadi profesional yang sejati, karena sikap ini melahirkan kemampuan berhubungan dengan manusia secara manusiawi (habl min-annas), sebagai sarat mutlak yang harus dipunyai oleh seorang profesional.**GIK

Penulis : Sugiharto (wartawan hukum & kriminal Media BORGOL)